Peta Situs | Komunitas Tzu Chi | Links  
| Tentang Kami | Berita Tzu Chi | Misi & Visi |Cara Berpartisipasi | Jadwal Kegiatan | Inspirasi | Kantor Penghubung |Kata Perenungan |


KESEMPATAN HIDUP KEDUA

Naskah: Sutar
Foto: Natalia/Hasdi/Sutar

“Saya bisa keluar bukan karena tahu ada pintu, melainkan karena terpelanting kesana-kemari.”

Niat berbuat kebajikan memang mudah diucapkan tapi tidak mudah dilakukan. Namun cukup dengan sebuah niat baik dan tulus, segalanya akan menjadi mudah. Bencana sekalipun, bukanlah halangan, bahkan justru bisa menjadi cambuk untuk lebih banyak lagi berbuat kebajikan.

Natalia, Rebianto, dan Zarkasih meyakini itu. Gempa di Pulau Nias dan Simeulue berkekuatan 8,7 skala Richter pada 28 Maret 2005 lalu yang menelan korban sekitar 600 jiwa dan meluluhlantakkan kedua pulau di barat daya Sumatera tersebut, tidak menghalangi mereka untuk menebar cinta kasih.

Ketika gempa itu terjadi, mereka sedang berada di Pulau Simeulue untuk membagi beras cinta kasih. Mereka sampai di pulau yang memiliki pantai yang sangat indah tersebut tanggal 24 Maret dan menginap di Losmen Simeulue di kota Sinabang.

Tanggal 28 Maret malam, pukul 21.30 WIB, tiga karyawan Grup Sinar Mas ini baru saja hendak beranjak tidur setelah seharian sibuk membagi beras bagi para korban tsunami dan juga warga kurang mampu. Selain mereka bertiga, di losmen yang sama menginap juga tiga relawan dari Banda Aceh yang membantu mereka membagi-bagi beras, yaitu Teuku Agung, Syaiful, dan Zaenal. Tiba-tiba bumi bergerak! Awalnya bumi bergerak ke kiri dan ke kanan, lama-kelamaan bergerak ke atas ke bawah. “Saya merasa itu bukan gempa, melainkan bumi bergerak cepat sekali,” tutur Rebi, panggilan akrab Rebianto. Losmen mulai runtuh dan ubin terbelah-belah, sementara listrik langsung mati.

Ketakutan sontak muncul dalam diri mereka. Mereka pun berebut keluar dari losmen untuk menyelamatkan diri. Natalia tak terlalu menemui kesulitan berarti untuk lari. Begitu juga dengan Teuku Agung, Syaiful, dan Zaenal. Tapi tidak dengan Rebi dan Zarkasih. “Saya bisa keluar bukan karena tahu ada pintu, melainkan karena terpelanting kesana-kemari,” cerita Rebi.

Sementara Zarkasih terjatuh tertimpa reruntuhan. “Saya yang pertama keluar, tapi ternyata larinya ke arah dalam, bukan keluar. Tembok jatuh mengenai badan saya. Saya pun terjatuh sementara suasana gelap. Rebi tak lihat saya. Untung dia tak menginjak saya,” kenang Zarkasih. “Saya harus bangun! Harus hidup! Saya nggak mau mati di sini!” seru Zarkasih dalam hati. Akhirnya, dalam suasana kacau, dia bisa keluar, namun tertimpa reruntuhan kayu lagi di depan pintu sehingga dia jatuh terguling-guling.

Dengan susah payah, akhirnya dia bisa keluar. “Rebi, kamu di mana?!” ia berteriak sambil menangis. Rebi pun melakukan hal sama, memanggil-manggil Zarkasih. Akhirnya mereka bertemu. Berpelukan. Dan mereka menangis bersama-sama. Sementara bumi masih terus berguncang. Ingatan mereka pun secara bersama-sama tertuju pada Natalia yang tidak ada di tengah-tengah mereka. Sambil menangis, mereka berteriak-teriak memanggil nama Natalia. Tapi tak muncul jua. Mereka hampir putus asa, sempat terpikir untuk mencarinya ke dalam losmen yang sudah mulai runtuh. Tapi rasa takut mengurungkan niat mereka. Mereka pun hanya bisa berteriak memanggil-manggil namanya. Rasa khawatir akhirnya sirna. Karena orang yang dimaksud akhirnya ketemu dalam keadaan baik-baik saja. Ternyata, Natalia telah terlebih dulu keluar. “Di sanalah kami merasa satu nasib, satu perjuangan,” ucap Rebi yang bertindak selaku ketua kelompok.

Gempa besar diikuti gempa-gempa susulan. Lamanya sekitar 5 menit. “Kami melihat sungai bergolak kencang. Kalau berdiri akan jatuh, jadi harus merangkak,” ujar Rebi. Usai gempa bukan berarti selesai. Masih ada lagi: ancaman tsunami!

Mengungsi ke Gunung

Losmen tempat mereka menginap berjarak 500 meter dari pantai. “Kami sangat khawatir, apalagi ingatan tentang Aceh menyatakan bahwa air datang cepat sekali. Kami segera mengambil barang yang tersisa dan lari ke gunung,” tutur mereka bertiga. Dalam gelap, mereka berlari dengan panik. “Lebih panik lagi melihat masyarakat di sana yang lari, berteriak-teriak, dan menangis,” cerita Rebi. Wajar apabila masyarakat terus ketakutan karena gempa susulan terjadi setiap 5 menit dengan kekuatan mencapai 5 skala Richter.

Meski panik, mereka menyempatkan diri membantu penduduk yang ketakutan. Natalia menenangkan orang-orang agar tidak panik. Rebi membantu seorang kakek menggendong cucunya yang masih bayi sampai ke bukit. Sedangkan Zarkasih tidak bisa berbuat banyak karena cedera. Melihat hal ini, Teuku Agung dan dua temannya menjadi semakin simpati terhadap Natalia dan kawan-kawannya.

Sesampai gunung, keadaan lebih mudah dikendalikan, meski rasa takut masih tetap ada. Keadaan makin tak menentu karena diperburuk oleh hujan lebat. Malam itu, mereka tidak bisa tidur karena ketakutan. Bisa tidur pun, jika ada gempa sedikit, mereka segera lari. Mereka tak bisa istirahat dengan tenang.

Banyak hal berkecamuk di pikiran mereka. “Saya teringat masih banyak yang belum diperbuat. Masih banyak dosa karena selama ini banyak berbuat salah pada orang lain dan belum sempat meminta maaf,” kenang Rebi. ”Saya berjanji kalau dikasih kesempatan hidup satu kali lagi akan berbuat lebih baik dan lebih menghargai hidup ini,” tekadnya dalam hati.

Malam yang mengerikan itu seperti berjalan teramat pelan. Pagi yang didamba serasa datang dengan sangat lambat. Setelah mentari terbit, bukan berarti kekelaman berlalu. Kebakaran besar terjadi, termasuk losmen tempat mereka menginap. Bangunan-bangunan yang rubuh dan porak-poranda terpampang dengan jelas. Rintihan-rintihan korban yang terjepit di balik puing terdengar di setiap sudut. Pemerintahan pun lumpuh.

Penjarahan terjadi di beberapa tempat. Salah satunya menimpa gudang beras milik Tzu Chi. Gudang tersebut hancur sehingga sebagian beras tersembul dari balik puing dan memancing perhatian masyarakat. Sebagian beras tersebut rusak karena terendam air. Masyarakat yang mulai kelaparan dengan buas menjarahnya.

Penjarahan berlangsung tidak terlalu lama karena aparat keamanan tak lama kemudian mengamankan gudang tersebut. Beras yang dijarah mencapai 10 ton. Masih tersisa 90 ton. Sambil hujan-hujanan, bekerja sama dengan satuan koordinasi pelaksana (Satkorlak) penanggulangan bencana, mereka membagikan sisa 90 ton beras kepada pengungsi yang kelaparan menggunakan dua buah truk.

Beras cinta kasih Tzu Chi hadir di saat yang sangat tepat. Masyarakat sangat panik dan saling berebutan karena takut akan kelaparan. Para pengungsi sangat gembira menerima bantuan Tzu Chi karena stok beras dimana-mana tidak ada. “Seandainya waktu sebelum gempa sudah selesai bagi beras, mungkin mereka akan seperti di Nias, kelaparan,” tutur Natalia.


Selanjutnya >>

 

Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia
Telp. (021) - 6016332, Fax. (021) - 6016334
Copyright © 2005 TzuChi.or.id